Tidak Lupa Mengunjungi Pasar Gede, Pasar Jawa dan Liburan Kota Solo

Матеріал з HistoryPedia
Перейти до: навігація, пошук

Ada istilah “jika ingin mengetahui identitas kota, silahkan datang ke pasar tradisional di kota tersebut event solo sebagai tujuan pertamanya”, mungkin istilah itu tepat bagi pelancong yang memastikan kota Solo sebagai destinasinya.

Itu tiba di stasiun Solo Balapan aku bertanya terhadap tukang becak dimana aku bisa ke pasar tradisional. Rupanya jawabannya membikin aku cukup kaget sebab dikasih opsi pasar yang lebih dari sepuluh jari tangan, mulai dari Pasar Legi, Pasar Klithikan, Pasar Depok, Pasar Gede, Pasar Triwindu, Pasar Kadipolo, Pasar Nusukan, Pasar Klewer, Pasar Gemblegan, pasar Purwosari dan selebihnya saya belum mencatat sebab si bapak tergesa-gesa mengayuh becaknya yang telah ditunggu penumpang.

Teringat artikel yang saya baca di mbah Google dua hari sebelum berangkat seputar pasar tradisional. Alternatif saya jatuh pada Pasar Gede sebab sebagai salah satu karya arsitektur wahid Herman Thomas Karsten dengan gaya arsitektur Jawa kolonial. Herman Thomas juga merancang banyak bangunan di Jawa Tengah termasuk Pasar Johar Semarang.

Sekitar pukul enam pagi aku telah siap untuk menikmati hiruk-pikuk Pasar Gede di antara pedagang dan pembeli. Persis di depan pintu masuk, saya sudah disambut oleh para ibu-ibu yang bekerja sebagai buruh gendong, kesibukan bongkar muat dan jajaran becak yang terparkir rapi.

Sekilas aku memandang kegiatan di Pasar Gede memang tak pernah berhenti selama 24 jam, sebagian gang di dalam pasar awam ditemui orang yang masih terlelap dengan televisi yang terletak permanen di toko dan lampu pijar yang senantiasa menyala. Terbukti hal apa yang aku perkirakan sedikit benar, karena predikat kota Solo sebagai kota yang tak pernah tidur rupanya juga disandang oleh Pasar Gede, dimana aktivitasnya sudah diawali pukul dua pagi untuk bongkar muat buah dan sayuran.

Sebagai sebuah laman peninggalan sejarah, Pasar Gede atau lengkapnya Pasar Gede Harjonagoro bisa dikatakan sebagai pasar dengan skor seni arsitektur yang tinggi, sebagai tempat interaksi sosial dan sebagai komponen dari Keraton kaitannya dengan nilai-poin Jawa yang terkandung di dalamnya. Beragam hal yang demikian aku rasakan ketika berada di dalam bangunan utama Pasar Gede.

Pasar yang dibangun pada tahun 1927 ini memiliki poin arsitektur yang tidak dapat diperhatikan sebelah mata, mampu menampilkan interaksi sosial masyarakat tanpa sekat, memiliki dimensi ruang yang sungguh-sungguh tertata apik sehingga menonjol lebih lega, tertib, dan bersih. Pasar Gede lebih dari sebuah bangunan, tapi ruh atau jiwa masyarakat kota Solo yang masih mampu bertahan dalam arus futuristik.

Saat jenis barang dagangan disajikan rapi dalam zona yang mempermudah pembeli untuk menemukan apa yang diperlukan, seperti sajian makanan siap santap, buah, sayuran, ikan dan daging dan masih banyak lainnya. Keriuhan transaksi antara pedagang dan pembeli menjadi hal yang menarik untuk disimak sebab di sini saya saksikan interaksi antara penjual dan pembeli dari bermacam-macam etnis yang memang menonjolkan pluralisme masyarakat kota Solo.

Pasar Gede terdiri dari dua bangunan utama yang masing-masing terdiri dari dua lantai yang masing-masing dipisahkan oleh jalan raya. Kios ini bangunan disisi timur digunakan sebagai transaksi jual beli kebutuhan pokok dan sembako sedangkan bangunan sebelah barat banyak memasarkan buah-buahan atau lebih dikenal sebagai pasar buah.

Dalam perkembangannya, Pasar Gede selain sebagai ruang transaksi ternyata ramai dikunjungi oleh pelancong asing lebih-lebih tamu Eropa sebagai destinasi karena minatnya oleh bangunan pasar dengan ciri khasnya berbentuk figur benteng, poin kolonial dengan dinding dan kolom yang tebal, serta konsep tradisional yang mengusung model atap dan luasan bangunan.